TAUHID/ TEOLOGI ISLAM
AQIDAH AHLUSUNNAH WAL-JAMA’AH
BAGIAN I
I.
PENDAHULUAN
Konsep tauhid yang di kembangkan
dalam organisasi Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) adalah aqidah Islamiyah
berhaluan Ahlusunnah Wal-Jama’ah . hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar (AD)
DDI pasal 3 berbunyi: organisasi ini beraqidah Islamiyah berhaluan Ahlusunnah
Wal-Jama’ah. Untuk itu, aqidah Islamiyah yang berhaluan Ahlusunnah Wal-Jama’ah
merupakan sistem nilai yang dianut oleh
DDI, sehingga dalam DDI kelihatannya istilah Ahlusunnah itu merupakan
istilah ideologi yang meringkas gambaran
menyeluruh tentang The Way Of Life-nya bukan sekedar istilah seperti
yang di gunakan dalam ilmu kalam atau teologi Islam, tetapi menyangkut seluruh
aspek kehidupannya.
Dalam bidang tauhid, sistem nilai
yang dianut dan di kembangkan DDI adalah mengikuti faham Asy’ariyah. Sementara
dalam fikhi sumber pengambilan hukum adalah Al-Qur’an, hadits, ijmak (konsensus
para ulama) dan qiyas (analogi), berbeda dengan golongan lainnya yang tidak
mengakui keutuhan empat sumber
pengambilan hukum itu yang cendrung untuk tidak menggunakan ijmak dan qiyas
dengan menggantinya ijtihad, walau sangat sulit membedakan secara mendasar
antara ijmak dan qiyas dengan ijtihad.
Ahlusunnah Wal-Jama’ah
sebagi suatu ajaran biasanya secara singkat di sebut Ahlusunnah atau
golongan Sunniy, yang merupakan golongan terbesar umat Islam di dunia di
samping syi’ah. Dari segi histioris sosiologis sesunguhnya dapat dikatakan bahwa
golongan Sunniy tumbuh secara defensif tidak mau bergabung dengan Syi’ah
Ali dalam perebutan kekuasaan setelah Khalifah ke tiga, Usman Bin Affan wafat.
Dari segi historis teologis
pertumbuhan Ahlusunnah Wal-Jama’ah muncul secara bersama—sama dengan
rangkaian empat Aliran hukum Islam yang
terkenal, yaitu aliran atau mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, yang
telah terbentuk pada abad II H. Pada masa itu, fikhi (hukum) dan teologi
(kalam) berada dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Syariah Islam yang
pada dahulunya di maksudkan mencakup keseluruhan cabang ajaran Islam. Hanya saja
sekarang ini, jika disebut Syariah Islam, maka biasa dimaksudkan hanyalah
masalah fikhi.
Pertentangan teologi dalam Islam
mula-mula timbul setelah Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah IV yang sah
menerima gencatan senjata dengan penyelesaian arbitrase atas
pertempurannya dengan Muawiyah (keluarga dekat Usman) yang tidak mau tunduk
kepada Ali, yang berujung kekalahan di pihak Ali. Akibatnya, tentatra Ali yang
tadinya setia, menolak dan membentuk barisan baru, yang nantinya dikenal dengan
golongan Khawarij. Golongan Khawarij ini dikenal sangat ekstrim dalam Islam. Ia
berpendapat semua orang yang tidak sepaham bengan dia adalah kafir termasuk Ali,
dan mereka wajib di bunuh. Sebagai imbangan dari golongan Khawarij ini lahirlah
golongan Murjiah, yang berpendapat bahwa iman tidaklah berkaitan sama sekali dengan
amalan lahiriyah, sehingga seorang yang telah mengucap dua kalimat Syahadat
tidak ada alasan lagi untuk mengatakannya kafir bila ia mengerjakan kemaksiatan
(dosa besar)
Kemudian berbarengan dengan
itu, muncul persoalan yang sangat
kontrofersial yang berkaitan dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan, di anaranya: Apakah
manusia berkebebasan atau dalam keadaan terpaksa (tidak berdaya) berhadapan dengan takdir Tuhan?. Dalam kaitan ini, timbul golongan Jabariyah,
yang berpendapat bahwa manusia dalam keadaan sepenuhnya tergantung kepada ketentuan (tekdir) Tuhan, manusia
tidak lain hanyalah bagaikan kapas diterbangkan angin, kemana saja angin membawanya, kesitulah
dia, tanpa memiliki sedikitpun
kesanggupan untuk mengelak. Sebagai imbangan dari pendapat ini, timbul pula
golongan Qadariyah, yang berpendapat bahwa manusia itu berkebebasan dalam menentukan nasibnya tanpa campur tangan
Tuhann. Dan sebagai kelanjutan dari paham Qadhariyah ini muncul golongan
Muktazilah yang di pelopori oleh tokoh
utamanya Washil Bin Atha’, yang berpendapat bahwa manusia itu bebas atau mampu
menentukan sendiri nasib dan jalan hidupnya serta tidak mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan. Golongan Muktazilah ini mendapat dukungan dari pemerintah
(Khalifah), sehingga bebas memaksakan pendapatnya terhadap kaum muslimin.
Pada saat golongan Muktazilah itu
berkuasa, dapat dikatakan bahwa praktis sunnah/hadits Nabi dan
petunnjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh para sahabat tidak lagi di
fungsikan secara wajar ditengah-tengah masyarakat Islam. Sebab, mereka
berprinsip bahwa sunnah/hadits yang biasa di jadikan hujjah hanyalah yang
berstatus mutawatir saja, sementara sunnah/hadits yang mutawatir itu jumlahnya
sangat sedikit, yang banyak adalah sunnah/hadits yang berstatus dzanny, maka
terdorong oleh situasi yang demikian itu, timbullah kesadaran sekelompok
ulama/cendikiawan untuk tetap melestarikan sunnah Nabi dan para sahabatnya,
sekalipun sunnah itu berstatus dzanniy asalkan shahih tetap di amalkan,
sehingga lahirlah golongan Ahlusunnah Wal-Jama’ah
Kristalisasi doktrin teologis Ahlusunnah
ini berlangsung sekitar abad X M. atau abad III H. walaupun sebelum itu
ajaran Islam Ahlusunnah sudah ada berkembang dan dianut oleh mayoritas kaum
muslimin, namun kehadirannya belum terkonsentrasi dalam suatu golongan atau
firqah dalam Islam, karna masih berjalan sebagaimana pada masa Rasulullah SAW
dan sahabat-sahabatnya tidak ada penggolongan yang demikian, sebab memang hanya
itulah satu-satunya faham yang dianut
masayarakat muslim dalam hal kehidupan aqidahnya.
Kebangkitan ulama/cendikiawan
tersebut, terutama diilhami oleh hadits nabi yang berbunyi:
Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ
سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang memulai
untuk memberi contoh kebaikan (dalam Islam) maka ia mendapat pahala
perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu
sampai hari Kiamat” (HR. Muslim)
من احیا سنہ من سنتی قدامبیتت بعد فا نہ لہ من الا جرمثل من عمل ھا من غیر ان ینقص من اجور ھم شیا ومن ابتدع
بدعہ ضلالةلايرضا ها اللة ورسولة كان من
الاثم اثام من عمل ها لاينقص ذلك من اوذارهم شيئا
Terjemahnya:
Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari pada sunnah-sunnahku yang
tercecer sedah matiku, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan pahala
sebagaimana orang yang mengamalkannya tanpa
dikurangi barang sedikitpun. Dan barangsiapa yang mendatangkan bidáh
yang jelek yang tidak di ridhai oleh Allah dan rasulnya adalah baginya dosa
sebagaimana dosa dari orang-orang yang menganjurkannya tidak kurang barang
sedikitpun”.
Dalam hadits Rasulullah memberi gambaran akan
munculnya banyak firqah/golongan di kalangan umat Islam, namun yang selamat
adalah mereka yang menganut ajaran Islam Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Di antara
hadits-hadits itu adalah sabda nabi
dalam riwayat Turmizi dari
Abdullah Bin ‘Amr, berbunyi:
إِنَّ
بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تفرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْ مِلَّةَ وتفرِقُ أُمَّتِيْ
عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةَ وَاحِدَةً؛قل
من هِيَ يارسول اللة ؟ قال ما انا علية واصحا بي
Terjemahnya:
Sesunggunya bani Israil telah berpecah belah menjadi 72golongan, dan umatku
nanti akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya itu akan masuk neraka kecuAli
hanya satu golongan tidak. Para sahabat bertanya: siapakah golongan yang satu
itu ya Rasulullah? Jawab nabi: itulah golongan yang menjalankan sebagaimana
yang aku jalankan bersama para sahabatku”.
Dan hadits nabi yang lain, misalnya
riwayat Ibn Majah dan Ahmad Bin Hanbal dari Anas Bin Malik Nabi menjawab
pertanyaan para sahabat dengan mengatakaan
Bahkan dalam riwayat al-thabarani,
jawaban nabi lebih dipertegas lagi dengan mengatakan :
Pelopor kebangkitan golongan
Ahlusunnah Wal-Jama’ah diantaranya adalah Abu Hasan Al-asy’ari (873-935) ia
lahir di Bashrah, tapi besar di Bagdad. Al-Asy’ari pada mulanya adalah pengikut
Muktazilah, murid dari Al-Jubbai,
seorang ulama besar Muktazilah, dan bapak tirinya sendiri. akan tetapi pada
usia sekitar 40 tahun, Al-Asy’ari beralih menjadi penganut faham ortodoks (Ahlusunnah)
yang kemudian teoritikus dan arsitek bagi pembangunan sistem teologi Sunniy
dengan berhasilnya merumuskan sistem kepercayaan yang secara umum di anut oleh
kaum muslimin sejak dari zaman Rasulullah dan sahabatnya. Faham yang dibangun
oleh Al-Asy’ari ini kemudian dikenal dengan golongan Al-Asy’ariyah.
Faham Al-Asy’ariyah ini pada
mulanya dicurigai oleh kaum muslimin, sebab faham ini pada dasarnya merupakan
suatu modus vivendi antara faham
Qadhariyah dan Jabariyah dan antara faham Musyahibbihah (yang mensifatkan Tuhan
sama dengan sifat makhluknya) dengan faham Muktazilah (yang menentang adanya sifat Tuhan). Tetapi berkat
pengaruh imam Al-Gazali seorang penganut
faham Asy’ariyah, maka semakin
populerlah faham Asy’ariyah dan pada akhirnya diterima secara utuh oleh
masyarakat Islam pada umumnya sebagai sistem teologi satu-satunya dalam dunia
Islam.
Sebenarnya, sebelum Al-Asyari telah
ada seorang tokoh Ahlusunnah yang mencoba mempelopori bangkitnya faham
ini, yaitu imam Abu Manshur Al–Maturidi (852-944) seorang ulama penganut faham
Hanafi di bidang fikhi, berbeda halnya dengan Al-Asy’ari yang menganut faham
Syafi’i dalam bidang fikhih. Al-Maturidi ini lebih populer dikalangan
masyarakat Islam yang berada di daerah timur sungai Eufrat Tigris (Samarkand)
II. PENGERTIAN AHLU SUNNAH WAL-JAMA’AH
Pengertian Ahlusunnah Wal-Jama’ah
dilihat dari sudut istilah ialah:
Kata Ahlun (أهل) berarti pengikut atau penganut.
Kata sunnah (السنة) berarti segala ajaran yang datang dari Rasulullah SAW. Baik
dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan nabi yang
termanifestasikan pada diamnya beliau menghadapi perkataan dan perbuatan para
sahabat pada masa beliau masih hidup).
Kata Al-Jamaah (الجماعة) yang berarti:
1. Jamaah
sahabat
2. Al-Khulafaur-Rasyidin,
yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
3. Kesatuan
umat Islam yang telah mangakui/mengikuti pemerintahan yang sah
4. Al-Sawad Al-A’dzam (golongan yang
terbesar) dari kaum muslimin.
5. Para
imam mujtahid (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali)
6. Doktrin
Abu Hasan Al-Asy’ari dan imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Dari rangkaian arti dalam
peristilahan di atas, dapatlah diketahui pengertian Ahlusunnah Wal-Jama’ah
sebagai ajaran dari satu golongan, yaitu golongan kaum muslimin yang dalam
melaksanakan ajaran syariat agamanya di bidang tauhid (Iman), fikhih (Islam)
dan tasauf (Ihsan) senantiasa:
1.
Berpegang
teguh pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Al-Qur’an
merupakan sumber azali, sedangkan sunnah Rasulullah SAW, merupakan sumber
bayani (penjelas) Al-Qur’an. Keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam,
sesuai dengan sabda nabi dalam riwayat imam Malik yang berbunyi:
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ
سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Terjemahnya:
Äku tinggalkan di tengah-tengah kamu dua hal, dimana kamu tidak akan tersesat
selama kamu berpegang teguhkepada keduanya; yaitu kitab Allah dan sunnah
rasul-nya”.
2.
Berpegang
teguh pada sunnah Khulafaur Rasyidin
Khulafaur-Rasyidin
adalah orang yang benar-benar ikhlas terhadap agama Allah (Islam). Di samping
itu, beliau adalah orang dekat dan mengerti benar ajaran agama yang di bawa
Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, golongan Ahlusunnah berpegang teguh atas
sunnah para Khulafaur Rasyidin. Hal ini di dasarkan kepada sabda nabi dalam
riwayat Abu daud dan al-turmizi dari abi najih yang berbunyi:
.....فا
نة من يعش منكم فسيري اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
عضوا عليها با لنواخذ....
Terjemahnya:
“…….sesungguhnya siapa diantaramu yang hidup
sesudahku, niscaya dia akan melihat perselisihan faham yang banyak. Maka
dalam situasi demikian, pegang teguhlah sunnahku dan sunnah pada Khulafaur
Rasyidin yang di beri hidayah…….”.
Menurut
Syeh Ibn ‘Afif dalam kitab Arba’in Al-Nabawi-yah bahwa dimaksud dengan
sunnah Khulafaur Rasyidin itu adalah sunnah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.
Sunnah yang mereka cetuskan itu berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
SAW.
3.
Berpegang
teguh pada sunnah sahabat nabi pada umumnya
Menghormati para sahabat nabi dan
memegang fattwa dan jejak mereka (sunnahnya) adalah termasuk salah satu dari
prinsip ajaran Ahlusunnah Wal-Jama’ah.
Dalam kaitan ini, Rasulullah dalam salah satu sabdanya menegaskan:
ان
اصحا بي كا لنجوم بأ يهم افتد يتم اهتم اهتديتم.
Terjemahnya:
“Sesungguhnya sahabat-sahabatku laksana bintang-bintang kepada yang mana saja
kamu semua mendapat petunjuk”.
4.
Berpegang
teguh pada ijmak
Ijmak adalah kesepakatan para ulama
mujtahid sesudah wafatnya nabi muhammah SAW. Terhadap sesuatu masalah pada
suatu masa yang tidak terdapat nashnyadalam Al-Qur’an ataupun sunnah Rasulullah
SAW. Dalam salah satu hadits Rasulullah
riwayat al-turmizi dari ibn Umar dijelaskan:
إِنَّ
اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى الضَّلاَلَةِ، وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ،
وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Dan tangan
(kekuasaan) Allah bersama jamaah, dan barang siapa mengasingkan diri dari
jamaah, maka terasinglah mereka ke dalam neraka”
5. Berpegang teguh pada mazhab imam mujtahid sekiranya
ia bukan ahli ijtihad.
Ijtihad dimaksudkan ialah jika
sekiranya dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah tidak diketemukan nash tentang
hukumnya atas sesuatu maka di benarkanlah ijtihad; yakni meggunakan seluruh
kesanggupan untuk menetapkan hukum syariat.
Tentang ijtihad ini, dalam suatu
hadits, Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
.للمنجتهد اجران ان
أصاب، واحد ان أخطأ.
Terjemahnya: “Bagi
seorang yang melakukan ijtihad, apabila ijtihadnya benar ia mendapat dua
pahala, dan sekiranya ia salah ia masih mendapat satu pahala”. (H.R. Bukhori
Muslim).
Ijtihad sebenarnya terbagi dua
macam, yaitu ijtihad Jam’iyan yang juga biasa disebut ijmak, sebagaimana
yang telah di jelaskan, dan ijtihad Fardhiyyan (perseorangan), yakni
dilakukan oleh setiap pribadi yang ahli dalam berijtihad dengan berbagai
persyaratannya. Persyaratan minimal yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid
adalah:
a. Mengetahui
bahasa arab dengan segala ilmunya
b. Mengetahui
betul nash Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
c. Mengetahui
ijmak
d. Mengetahui
ushul fikhi, dan
e. Mengetahui
nasikh dan mansukh.
Orang yang memenuhi persyaratan
minimal ini kemudian melakukann ijtihad secara langsung merancang sendiri dari
dalil-dalil yang pokok, yaitu Al-Qur’an dan sunnah, di sebut mujtahid Mustaqil.
Akan tetapi bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan minimal di atas tidak
dibenarkan ijtihadnya, sebab memungkinkan timbulnya anarchis dalam penetapan hukum.
6. Berpegang teguh pada faham golongan terbesar di
kalangan umat Islam
Kenyataan adanya firqah dikalangan
umat Islam menimbulkan konsikuensi lahirnya masalah khilafiyah, sejauh masalah
khilafiyah itu terbatas pada bidang furu’iyah, yakni perselisihan pendapat para
mujtahid yang terjadi dalam masalah penetapan hukum syariat, maka hal itu tetap
akan menjadi rahmat bagi umat Muhammad. Akan tetapi apabila masalah khilafiyah
itu menyangkut bidang aqidah, maka dalam hal ini akan terjadi pergesekan nila,
membawa bencana terhadap umat Muhammad karna akan muncul golongan mu’taqad yang
menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam hal ini ajaran Ahlusunnah
Wal-Jama’ah memegang prinsip Al-Aswad Al-A’zham, sebagaimana yang di
jelaskan oleh Rasuullah dalam salah satu sabdanya riwayat Ibn Majah yang
berbunyi:
فاذارايتم
اختلافا فعليكم بالسوادالأعظم مع الحق واهله.
Terjemahnya: “Jika
sekiranya kamu melihat perselisihan pendapat, maka pegang teguhlan pendapat
golongan terbesar yang bersama kebenaran dan mempunyai kaahlian (ahli
ijtihad)”.
Adapun golongan terbesar dalam
dunia Islam dapat dilihat dari segi luasnya daerah dang didiami dan jumlah
penganutnya.
7. Berpegang teguh pada aqidah rumusan imam al-asyari
dan imam al-maturidi
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari lahir di
Bashrah Irak pada tahun 260 H. dan wafat disitu juga pada tahun 325 H. nama
lengkapnya adalah Abu Hasan Bin Ali Bin Ismail Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal
Bin Abi Burdah Bin Musa Al-Asyári. Adapun Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan
disuatu desa yang bernama Maturidi daerah Samarkand, Asia kecil, pada tahun 333
H. nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud.
Beliau berdua adalah tokoh
pembangun aqidah Ahlusunnah Wal-Jama’ah dengan satu rumusan yang sistematis
guna menjamin kelestarian I’tiqad yang telah di I’tiqad-kan oleh Rasulullah SAW
dan para sahabatnya jauh sebelum Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Manshur
Al-Mathuridi dilahirkan ke dunia.
Note:
Artikel ini disadur dari majalah suara DDI edisi I tahun 2000
Komentar
Posting Komentar